Post-privacy Economy: “Jual Diri” Secara Tidak Sadar

Yosef Ardhito
5 min readMar 24, 2018

--

Ketika membagikan data semudah menekan tombol Enter

Belakangan ini begitu ramai berita tentang penggunaan data pribadi secara semena-mena oleh perusahaan, dengan maksud komersial. Tepat sekali momennya, saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah buku berjudul Data for the People: How to Make Our Post-privacy Economy Work For You dari Andreas Weigend. Sayangnya, di Indonesia, kesadaran untuk menjaga data sensitif masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain yang sudah melek internet, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa.

Mari kita mulai dengan lebih mengenal lebih lanjut apa itu post-privacy economy.

Bayangkan, bagaimana jadinya jika ada sebuah aplikasi yang bisa memberitau makanan yang paling tepat untuk kamu setiap saat, tanpa kamu harus berpikir mau makan apa? Ibaratnya seperti zomato, tapi dalam sekali tekan akan langsung muncul restoran mana yang disarankan. Ah, masa sih kamu keberatan.

Bagaimana jika menu makanan yang diberikan disesuaikan dengan selera, kesehatan, dan kondisi keuanganmu? Mulai merasa ada untungnya kan?

Tidak perlu lagi menghabiskan waktu 20 menit berdebat dengan teman mau makan dimana, atau 15 menit berputar-putar restoran hanya untuk kembali ke restoran pertama yang kamu lewati. Belum lagi harus baca review satu-satu tentang setiap restoran, cari restoran yang recommended di sekitarmu, atau memastikan kalau restoran yang ingin dikunjungi memang terkenal enak.

Bahkan, ada seorang teman saya yang selalu mengikuti kemanapun teman jalannya memutuskan untuk makan, karena ia begitu malasnya berpikir harus makan dimana.

Makanan langsung tersaji di meja kamu tanpa harus memilih

Sejauh ini, semua terlihat menyenangkan, tapi tentu saja tidak ada yang gratis di dunia ini. Untuk bisa mendapatkan rekomendasi makanan setiap saat, aplikasi ini membutuhkan data diri kamu, semakin detail maka rekomendasi yang diberikan akan semakin akurat. Seberapa banyak data yang mau kamu berikan? Dan seberapa sensitif yang kamu bersedia detilkan?

Bagaimana jika aplikasi ini perlu tahu umur kamu? lokasi kamu setiap saat? Atau data yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti perusahaan tempat kamu bekerja? Atau besaran gaji kamu? Masuk akal toh, kalau mau dapat rekomendasi yang menyesuaikan kondisi keuangan, aplikasi ini perlu tau memangnya berapa pendapatan kamu.

Rasa tidak nyaman itu mulai kembali, ya? Kira-kira kenapa? Tanpa pernyataan jelas bahwa data yang kamu berikan itu digunakan hanya untuk kepentingan rekomendasi makanan, wajar sekali jika kita merasa gundah dan berhati-hati memberikan data pribadi. Dalam dunia digital, representasi dari diri kita adalah jejak data yang kita tinggalkan. Tentu kita tidak ingin “diri” kita digunakan untuk tujuan yang kita tidak tahu atau tidak kita setujui.

Sekarang kita ubah sedikit, bukan menu makanan yang diberikan oleh aplikasi ini, tetapi berita terkini yang disesuaikan dengan kamu. Ya, setiap hari kamu akan dapat sejumlah berita yang sekiranya penting untuk kamu baca, menurut si aplikasi. Apakah kamu mau menggunakannya? Tidak perlu dijawab, kemungkinan besar kamu sudah memakai aplikasi ini.

Saya sedang berbicara mengenai News Feed dari Facebook.

Apakah anda tahu apa saja yang diperbuat sosmed terhadap data yang anda berikan?

Bagaimana Facebook menentukan berita atau post mana yang paling tepat untuk dibaca setiap orang? Tidak mungkin kan kalau setiap berita harus disortir satu per satu oleh manusia?

Atau, bagaimana Instagram memberikan daftar foto pada fitur discovery? TripAdvisor menentukan review mana yang ditampilkan? Gmail bisa memberikan tanda pada e-mail yang dianggap penting? Semuanya secara otomatis diperhitungkan melalui algoritma machine learning. Tapi tenang, tulisan kali ini tidak mendalami mengenai machine learning, yang ingin diangkat adalah dari sisi kemanusiaan.

Legal, but unethical.

— seorang rekan

Post-privacy economy merupakan era dimana uang bukan lagi alat tukar utama dalam perdagangan, melainkan data (ini adalah definisi saya sendiri yang saya simpulkan dari membaca buku Weigend). Siapa yang memiliki data paling banyak, maka ia yang mampu menguasai pasar. Memang sih, semua bisnis itu UUD (Ujung-ujungnya duit), disini data diperlukan untuk bisa bertahan pada pasar, sehingga dalam jangka panjang bisa menghasilkan uang terus-menerus. Percuma jika mengkritisi pola bisnis yang memperjualbelikan privasi seseorang, sayangnya kencenderungan ini sudah mulai mengakar. Seperti bom waktu yang efeknya baru terasa ketika meledak, dan sayangnya semua sudah terlambat.

Dalam bukunya, Andreas Weigend menyampaikan dengan detil apa saja yang perlu diketahui dan dilakukan oleh seorang pengguna layanan dari model bisnis yang kekinian. Ada 6 hal terkait pemanfaatan data yang perlu dituntut oleh pihak yang datanya digunakan:

  1. The right to access your data: hak untuk mengakses data kita yang disimpan oleh penyedia layanan
  2. The right to inspect data refineries: hak untuk mengetahui bagaimana data kita digunakan dan diolah
  3. The right to amend data: hak untuk memperbaiki data yang sudah disimpan oleh penyedia layanan (atau memberikan keterangan)
  4. The right to blur your data: hak untuk menyensor atau menghilangkan data kita sehingga tidak bisa digunakan untuk proses
  5. The right to experiment with the refineries: hak untuk mengutak-atik proses pengolahan data supaya lebih sesuai dengan keinginan kita
  6. The right to port your data: hak untuk mendapatkan data yang bisa kita mengerti

*definisi bahasa indonesia dibuat oleh penulis

Dalam perspektif digital, data anda begitu berharga. Anda perlu memastikan bahwa data yang anda berikan disimpan dan digunakan sebagaimana mestinya. Senada dengan pendapat Weigend, hal paling fundamental yang perlu dibangun adalah kesadaran dari pengguna layanan. Jika kita mengambil definisi yang lebih luas, opini dan post yang anda buat di media sosial juga merupakan data yang bisa dimanfaatkan untuk mengetahui hal yang bersifat personal, misalnya ras, hobi, atau pandangan politik.

Dengan demikian anda bisa menyadari bahwa pada platform sosial media seperti Facebook, sejatinya, anda adalah produk, dan mereka “menjual” data yang anda berikan kepada pihak atau perusahaan lain. Tidak hanya di Facebook, di berbagai platform lain yang membutuhkan data anda, pastikan anda sadar akan tujuan dan pemanfaatannya, sebelum memberikannya. Lebih baik lagi jika anda bisa mencaritau terlebih dahulu apakah platform tersebut menyediakan cara untuk mengakses, memperbaiki, atau menghapus data yang sudah anda berikan.

Mulai sekarang, setiap kali muncul pop-up “apakah anda ingin memberikan akses lokasi anda untuk aplikasi” atau anda diminta memasukkan data yang sensitif seperti nomor telepon atau nomor KTP, sebaiknya anda pikir lagi kira-kira data tersebut digunakan untuk apa? Layanan apa yang anda dapatkan dengan memberikan informasi tersebut? Apakah ada kemungkinan akan penggunaan yang kira-kira tidak anda inginkan?

Apakah kemudian kita harus menghapus seluruh akun media sosial, memutus jaringan internet yang kita miliki, dan mengurung diri di balik selimut? Tidak. Tidak ada niat untuk kampanye negatif terhadap Facebook atau platform lain yang saya sebutkan disini. Berbagai media sosial memiliki fitur yang jika kita manfaatkan dengan baik, justru memberikan keuntungan bagi kita.

Jika menganalogikan media sosial sebagai sebuah pisau, yang saya ingin bagikan adalah informasi bahwa pengguna pisau harus berhati-hati supaya tidak melukai diri sendiri, bukan menghilangkan penggunaan pisau sama sekali.

The real issues are how to ensure that the data companies are as transparent to us as we are to them, and that we have some say in how our data are used.

— Andreas Weigend

--

--